Posted by: Harry W. S | January 7, 2006

Masalah budaya

Pendahuluan

Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar mampu memperoleh kekuasaan melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Bahkan perusahaan transnasional mampu menghasilkan budaya global melalui pasar komersil global.
Perubahan budaya lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Akses informasi dapat diperoleh melalui media massa cetak maupun elektronik, internet, dan telepon. Masyarakat perkotaan dipengaruhi terutama melalui reproduksi ’meme’ yang dilakukan oleh media massa (Chaney, 1996).
Dalam konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi. Hal ini terjadi di banyak masyarakat perkotaan Indonesia.

Dampak budaya global

Budaya global seperti di atas telah menggusur budaya lokal Indonesia (Ibrahim, pengantar dalam Lifestyles oleh Chaney, 1996). Contoh untuk hal ini dapat kita lihat pada masyarakat keraton Indonesia. Dalam dua abad terakhir tata masyarakat kerajaan mulai memudar. Kedudukan bangsawan dikudeta oleh kaum pedagang dengan senjata teknologi dan uang. Legitimasi istana yang bersemboyan kawula gusti kini diinjak-injak oleh semangan individualisme, hak asasi, dan kemanusiaan. Mitos dan agama digeser sekularisme dan rasionalitas. Tata sosial kerajaan digantikan oleh nasionalisme. Akibat runtuhnya kerajaan yang mengayomi seniman-cendekiawan istana, berantakanlah kondisi kerja dan pola produksi seni-budaya istana (Heryanto, 2000).

Kebudayaan sebagai makna

Dalam antropologi, budaya ialah pola perilaku dan pemikiran masyarakat yang hidup dalam kelompok sosial belajar, mencipta, dan berbagi (Microsoft Encarta Reference Library, 2005). Budaya membedakan kelompok manusia yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Ariel Heryanto (2000), kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan, tapi persepsi, pemahaman atau konsep untuk melihat, menangkap dan mencerna realitas. Kebudayaan ada hanya jika ada kesadaran, konsep, dan bahasa manusia modern untuk melihat keberadaannya. Dengan kesadaran, konsep, dan bahasa tersebut manusia memberikan makna pada dunia yang dilihatnya.
Pemaknaan diri sendiri dan dunia di sekelilingnya merupakan perlengkapan mutlak bagi setiap orang untuk menggeluti berbagai kenyataan di sekitarnya (Heryanto, 2000). Namun bentuk dan isi makna-makna ini bukan takdir yang statis dan tak dapat ditawar-tawar. Bentuk dan isi makna ini dapat berubah sesuai dengan keinginan manusia.

Peran nalar dalam pemaknaan hidup

Nalar didefinisikan sebagai kemampuan mental yang berguna untuk menyesuaikan pemikiran maupun tindakan dengan tujuan (Brown, 1993). Nalar bekerja dengan kaidah filsafat (penarikan kesimpulan) dan kaidah psikologi (teori kesadaran). Nalar telah mengantarkan manusia ke kedudukan yang tinggi dengan membantunya mengumpulkan pengetahuan.
Dapat kita simpulkan bahwa nalar adalah produk biologis- sekadar alat yang menurut kodratnya terbatas kemampuannya (Calne, 2002). Nalar telah meningkatkan mutu cara kita melakukan sesuatu, tetapi nalar tidak mengubah mengapa kita melakukannya. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada inisiator. Kita memakai nalar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan menentukan apa yang kita inginkan. Nalar telah melahirkan pengetahuan yang membuat kita bisa terbang keliling dunia kurang dari 2 hari. Walaupun demikian kita melakukan perjalanan karena maksud dan alasan yang sama dengan yang mendorong leluhur kita dulu bepergian- berdagang, penaklukan, agama, petualangan, atau penindasan.

Gaya hidup mandiri

Dengan gencarnya promosi gaya hidup modern sekarang ini, kita harus bisa mengambil sikap. Perubahan budaya lokal tidak dapat dielakkan, namun kita dapat mengarahkan perubahan tersebut. Corak budaya global yang negatif kita hilangkan, namun yang positif kita ambil.
Budaya luar yang baik untuk kita adopsi adalah budaya yang memerdakan dan membebaskan manusia. Menurut Immanuel Kant, ada dua unsur yang penting dalam manusia merdeka. Pertama, digunakannya akal budi sebagai satu bagian manusia- nalar yang mampu memecahkan persoalan-persoalan ethis tanpa sama sekali mengacu kepada wujud yang ilahiat. Kedua, ’publik’ sebagai arena. Bagi Kant, ukuran manusia yang dewasa, merdeka, adalah ketika ia mempergunakan nalarnya di arena publik tersebut. Untuk bisa mencapai ke arah sana, dibutuhkan kemandirian yang bertanggungjawab serta disiplin. Dan nalar menunjukkan bagaimana cara efektif dan efisien untuk melakukan perubahan tersebut.
Kemandirian berarti kita mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Dan nalar adalah alat untuk menyusun strategi.
Bertanggungjawab maksudnya kita melakukan perubahan secara sadar dan memahami betul setiap resiko yang bakal terjadi serta siap menanggung resiko. Dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri.
Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggungjawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.


Responses

  1. Mandiri? Di Indonesia mah adanya Bank Mandiri, Ry. Kita kan sukanya masih disuapin dan gak mau inisiatif.

    Whuheh…he..he…
    Tulisan elo serius amat. Hii serem ah bacanya kalau di depan komputer.

  2. Sebenarnya masalah budaya sendiri adalah bagaimana budaya lokal itu bisa di terima di masarakat moderen sekarang? Toh jika dilihat, baik orang dewasa maupun anak2 lebih tertarik dengan budaya luar ketimbang budaya lokal ketimbang buday sendiri!Masalh Mandiri gimana kitanya mu Mandiri, toh yang diatasnya aja dah ga mandiri,,,,!lebih suka di suapin dengan yang berbau kemewahan dan kemegahan! So KKN dech,,,,UP’s?

  3. kalau menurut saya, pengaruh budaya luar tidak dapat kita hindari. penyebabnya adalah teknologi informasi yang sudah semakin canggih. tidak semua budaya luar itu buruk, contohnya adalah budaya bushido jepang. bagi yang sudah baca novel Musashi atau Taiko paling tidak kebayanglah apa itu bushido.
    maksud saya, permasalahan budaya di Indonesia adalah bagaimana membangun budaya mandiri di negara ini? jadi lebih ke budaya mandiri tersebut, tidak jadi soal apakah kemandirian tersebut berasal dari budaya lokal atau budaya luar.

  4. soal membuang yang buruk dan mengambil yang baik….itu susah, kena gejala hypersemiotika…makna sudah ditanggalkan jadi semua ditiru yang penting suka nggak suka… terus soal pilihan…dalam kondisi uncertainties yang tinggi dan bounded rationality….pilihan bukan lagi desain…tapi lebih mirip ngasal…mengandalkan pengalaman kita sebagai begara ketiga yang juga terbatas dalam menghadapi situasi di depan kita…………memang susah ngelawan penjajah dengan pelor-pelor informasinya!!!

  5. Budaya lokal yang berubah ,sebenarnya juga memberikan dampak positif ,
    Seni Di Indonesia bisa bertambah,model pakaiannya.

    Dan Yang paling penting sistem pengetahuan dari Indonesia bertambah,mislanya yang berkaitan dengan tekhnologi

  6. Masalah ,masalah,masalah

    Kebudayaan di indonesia mungkin saja karena dipengaruhi oleh waktu yang terus berjalan

    Budaya di Indonesia telah mengalami perubahan yang banyak mulai dari cra berpakaian ampe cara berbicara yang tidak sopan dan tidak pantas

    Adam smith mengemukakan keuntungan pembagian kerja dan penggunaan mesin

    Salam juga ya buat sosiologi(novalia wijaya,devina kristanto,ferdinandus,dan yang lainnya)

  7. budaya,,,

    tntu bdya(lokal) qt smkn bkmbang seiring kmjuan tknologi
    spt cr bpkaian, mkan, bcra, de el el
    g ad y bs ingkari hal itu
    tp smua tgntung ma qt gmn mau nyikapi kbdayaan itu
    pgen’a sech y baik2 aja y dterima n d lakonin
    klo bdya y buruk spt KKN y d tinggalin aza x yee,,,

  8. waduh, komentarnya banyak. terima kasih. menarik utk sy tanggapi.

    sy menyebut masalah budaya, karena ada persoalan. dan persoalan sebenarnya ialah karena budaya yg ada sekarang tidak mengarah kepada perbaikan kemanusiaan secara global. tidak mengarah kepada kemandirian bangsa indonesia. coba deh, kalo budaya kita tidak mengalami perubahan untuk waktu tertentu (kalo dikalkulus, kita menyebutnya t ). untuk t menuju tak hingga, sy melihat efek budaya sekarang menuju kepada kehancuran kemanusiaan indonesia. parameternya, tingkat kesehatan, pendidikan, sanitasi, dan pangan. well, setidaknya begitulah kira2.

  9. memang susah untuk menfilter budaya asing karena masyarakat kita sendiripun sudah tidak mengenal budaya lokal karena di anggap ketinggalan zaman dan tidak modern.media massa sangat berperan dalam menggambarkan 4 budaya budaya massa,budaya populer,budaya tinggi dan budaya rakyat

  10. budaya asing ,,,,,,,welcome to my life,,,,,

  11. welcome to my paradise– PROUD BEING INDONESIAN,,FRIENDS U MUST READ IT,,
    malam semua,,,permisi saya mau mengisi blog saya ,,

    apa ya,,gw mau cerita apa ya,,gini aja de,,gw pengen nulis ttg sesuat yang belakangan in gw pikirkan,,

    1,gw liat trans tv-jelang siang ,tepatnya kemaren siang,,dan temen2 tau,,ternyata ada kesenian wayang kentrung aslin Kota Kudus yang ternyata udah mau punah, krn yang bisa memainkannya cuma satu orang di dunia ini dan bapak itu umurnya udah mencapai sekitar 96 th,,dan ternyata wayang kentrung itu adl sarana dakwah para wali jaman dulu untuk penyiaran agama islam,,Bapak itu kerepotan untuk mencari penerus wayang Kentrung itu ,,mslhnya krn gak ada yang niat untuk nerusin waeisan nenek moyang kita itu,,dia pun sekali nanggap wayang semalem suntuk cuma dibyar 400 ribu rupiah saja,,,Guys,, buat makan aja gak cukup,,tapi dia sangat mencintai profesinya itu even dia udah tua,,kondisinya gak fit lagi,,duit kecil tapi tetep aja dia ngejalanin itu semua,,kalo diliat2 wayangnya juga udah dlm kondisi gak bagus lagi krn ya dia cuma bisa ngerawat boneka wayang kentrung itu seadanya aja,, hati gw tergerak bgt untuk nulis ini di blogs,langsung setelah gw liat acara Jelang Siang, yah gw berharap tulisan ini dibaca sama temen2,,gak tau juga sih mau diapain,,tapi setidaknya bisa dijadiin pemikiran temen2 semua yg mana temen2 semua orang Indonesia kan, tinggal di Indonesia kan,,makan dan minum dan bernafas di indonesia kan,,well udah seharusnya kali ya kita mulai mengulik kebudayaan dlm bentuk kesenian asli khas tanah air kita,,bukan sok nasionalis atau menggurui tapi sebagai bukti cinta kita aja sama indonesia ,,kan bentuk kecintaan itu bisa macem2,,ya gak,,dengan kita aware aja udah merupakan bentuk kecintaan kita ko..

    basicly,, gw emang suka sih sama Wayang,,banyak yang bilang aneh,,kok ada anak muda suka wayang,,mungkin bukan aneh tapi gak lazim aja kali ya,, tapi coba deh temen2 perhatiin lagi, wayang itu ada lo di setiap negara gak cuma Indonesia,, tapi bentuknyA aja yang ngebedain ,,dari mexico , perancis, america ada semua,,somehow they call it puppet..tapi bagi gw sih yang paling membuat gw tercengang adl wayang Indonesia,,bentuknya cantik bgt, unik, lain dari yang lain, agung, indah , anggun,, dan percaya atau enggak itu pun ada ritual nya ,,seorang dalang gak boleh main2 kao ada acara nanggep wayang,,dia harus upacara dulu,puasa dulu, dll.. cerita yang diangkat untuk atu pertunjukan wayang pun, banyak yang nyentuh sama kehidupan kita sehari2,,yang basic2 bahkan tapi ngena banget ,,untuk patokan kita sbg manusia gimana caranya untuk bersikap,,dan cerita wayang sebenernya selalu diangkat melalui kisah mahabharata atau ramayana sih tapi tetep relevan kok sama hidup kita jaman sekarang,,kadang emang bener ya,,untuk menhadapi permasalahan kita yang susah2 cuma butuh ngeliat ke belakang ,,maksudnya ngeliat ke blakang,,apa sih yang seharusnya kita lakoni sng seorang manusia,,gak usah neko2,,menjadi konservatif dalam beberapa hal gak masalah lagi ,,malah perlu untuk ngejaga prinsip dan ngasih batasan tegas siapa kita ,,apa peran kita,,well balik lagi ni ,,hidup itu gak selalu hitam dan putih malah justru banyak abu2 nya,,kadang yang baik jadi jahat yang jahat jadi baik,,dengan pertimbangannya sendiri2,,itu yangdicoba untuk disampaikan dlm cerita wayang,,bagus2 bgt untuk pengetahuan jiwa kita baik dr segi esensi ceritanya atau keindahan seni nya,,

    so,,ayo temen2 coba tengok budaya asli kita dengan temen2 sedikit aja peduli dgn cara apapun, maka kebudayaan itu pun tidak akan punah,,jangan sampe punah ya temen2,,be proud of who we are,,cause we are INDONESIAN BIG FAMILY WITH GREAT CULTURE..

    ^__^ seu you Guys..

    lots of love Eugenia..

    • yaph gw s7 bgd dg pndapat dr loe…………….

      • i agree about ur opinoin.. ^^.

  12. sy setuju bgt dgn rebecca. budaya dan kesenian suku2 kita di indonesia adalah kekayaan indonesia. tp coba kita lihat di struktur pemerintahan. kebudayaan dijadikan satu departemen dgn pariwisata, menjadi departemen kebudayaan dan pariwisata. apa artinya? budaya kita dijadikan alat komersil. pantas kesenian kayak wayang kentrung tdk ke urus. ga ada apresiasi thd kesenian asli budaya indonesia. ini bukan masalah duit, tp masalah apresiasi thd kesenian. masih mending dulu, departemen pendidikan dan kebudayaan. budaya menjadi salah satu aspek dalam pendidikan. hmmm….menarik untuk dicermati.

  13. saya seorang mahasiswa antropologi fisip usu. fenomen budaya populer menurut saya sampai sekarang ini masih dapat dikatakan rancu dan ambigu – terlebih jika kita coba untuk memisahkannya dengan apa yang disebut oleh John Storey (2002, Popular Culture, A Reader)sebagai budaya atau kebudayaan tinggi (high culture). permasalahan dogamtisnya adalah budaya, sebagai mana terlapazkan sebagai kesatuan ide, perilaku, sampai kepada apa yang disebut Koentjaraningrat (1999, Pengantar Antropologi I) sebagai artefak – keseluruhan budaya dan kebudayaan memiliki kedua hal tersebut. terlepas dari usaha-usaha distinctive ke arah low culture budaya populer) atau high culture nya.
    dalam prakteknya, sebagai ilmuwan sosial 9apalagi seorang antropolog) – pemaknaan atau bentuk interpretasi terhadap suatu fenomen budaya adalah mutlak emik. sementara disatu pihak, justifikasi populer atau tidaknya suatu budaya tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat dan menilai melalui pendapat subjektif, apalagi mengkaitkan karakteristiknya dengan anekdot komersil, industrial, atau produksi massal yang elatarbelakanginya. content yang ingin saya tegaskan adalah, semua budaya atau kebudayaan adalah murni ciptaan manusia – terlepas dari segala bentuk difusi, akulturasi, ataupun asimilasi yang membentuk atau memberi sumbangan atas penciptaan kebudayaan tersebut. pada dasarnya, kebudayaan bagi tingkat individu dimulai pada tahapan enkulturalisasi, internalisasi, sampai kepada entuk sosialisasinya. tidak ada kebudayaan yang populer, sampah, rendahan, parodi, atau apapun. coba lihat sendiri bagaimana mitos-mitos, legenda-legenda, cerita-cerita rakyat, seni usik rakyat, tari-tarian – yang juga diklaim oleh penganut classical anthropology sebagai content of culture as named folklore – dan tentunya bersifat hiburan, dipenuhi intirinsik finansial dan komersil, bersifat parodi, dsbgnya.
    mohon tanggapi pernyataan saya ini, kerancuan dan ambiguitas ini tidak dapat diselesaikan dengan pelarian postmodernism sebagai jawaban, telaah empiris dan terui mugkin dapat menyingkapnya, terlebih jika landasan filologis yang membedakan kedua bentuk kebudayaan tersebut dapat dijabarkan dengan jelas.
    atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih.

  14. saya seorang mahasiswa antropologi fisip usu. fenomen budaya populer menurut saya sampai sekarang ini masih dapat dikatakan rancu dan ambigu – terlebih jika kita coba untuk memisahkannya dengan apa yang disebut oleh John Storey (2002, Popular Culture, A Reader)sebagai budaya atau kebudayaan tinggi (high culture). permasalahan dogamtisnya adalah budaya, sebagai mana terlapazkan sebagai kesatuan ide, perilaku, sampai kepada apa yang disebut Koentjaraningrat (1999, Pengantar Antropologi I) sebagai artefak – keseluruhan budaya dan kebudayaan memiliki kedua hal tersebut. terlepas dari usaha-usaha distinctive ke arah low culture (budaya populer) atau high culture nya.
    dalam prakteknya, sebagai ilmuwan sosial 9apalagi seorang antropolog) – pemaknaan atau bentuk interpretasi terhadap suatu fenomen budaya adalah mutlak emik. sementara disatu pihak, justifikasi populer atau tidaknya suatu budaya tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat dan menilai melalui pendapat subjektif, apalagi mengkaitkan karakteristiknya dengan anekdot komersil, industrial, atau produksi massal yang elatarbelakanginya. content yang ingin saya tegaskan adalah, semua budaya atau kebudayaan adalah murni ciptaan manusia – terlepas dari segala bentuk difusi, akulturasi, ataupun asimilasi yang membentuk atau memberi sumbangan atas penciptaan kebudayaan tersebut. pada dasarnya, kebudayaan bagi tingkat individu dimulai pada tahapan enkulturalisasi, internalisasi, sampai kepada entuk sosialisasinya. tidak ada kebudayaan yang populer, sampah, rendahan, parodi, atau apapun. coba lihat sendiri bagaimana mitos-mitos, legenda-legenda, cerita-cerita rakyat, seni usik rakyat, tari-tarian – yang juga diklaim oleh penganut classical anthropology sebagai content of culture as named folklore – dan tentunya bersifat hiburan, dipenuhi intirinsik finansial dan komersil, bersifat parodi, dsbgnya.
    mohon tanggapi pernyataan saya ini, kerancuan dan ambiguitas ini tidak dapat diselesaikan dengan pelarian postmodernism sebagai jawaban, telaah empiris dan terui mugkin dapat menyingkapnya, terlebih jika landasan filologis yang membedakan kedua bentuk kebudayaan tersebut dapat dijabarkan dengan jelas.
    atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih.

  15. saudara ikhwan, terima kasih atas komentarnya yang mencerahkan. senang juga ada anak USU yg berkomentar. perkenalan sebentar, sy punya rumah di daerah padang bulan, sebelum simalingkar, depan PDAM tirtanadinya. teman2 saya banyak kumpul di USU Press seperti bangsa2 bang Rizal dan bang Muara, Zaid (Dosen T. Sipil), dll. Jadi, menyenangkan punya komentar dari tanah asal.

    baiklah, ke topik semula. Budaya populer adalah sarana modern di mana identitas nasional, etnik, jender, agama, dan kelas sosial saling memperjuangkan signifikasi dan dominasi dalam politik ruang publik (Chris Barker, 2003). jelas, pengertian ini mencoba utk mendefinisikan budaya populer dari perspektif hegemoni-nya Gramsci. sedangkan dari wikipedia, ada 5 definisi tentang budaya populer (pop culture). menurut hemat saya, dalam konteks pembahasan kita, akan lebih baik memakai definisi dari Barker.

    kerancuan yang terjadi menurut anda, setelah di pikir-pikir, terjadi karena pengimbuhan kata populer setelah kata budaya. nah, populer atau tidaknya suatu budaya, menurut definisi dari barker, memiliki kriteria utama, yaitu usaha utk mendominasi ruang publik.
    jelas perbedaannya dengan budaya dalam arti harfiahnya tanpa imbuhan populer. singkat kata, setiap barang atau kesenian atau apapun budaya ciptaan manusia, jika diusahakan untuk mendominasi ruang publik, maka masuk dalam kategori budaya populer (sesuai dengan definisi menurut Barker).

    namun menurut hemat saya, pengkategorian budaya populer seperti ini masih terlalu sederhana. karena akan sulit bagi kita untuk membatasi pengertian ruang publik, secara ruang dan waktu. karena itu, dalam postingan saya, tidak ada sy memakai istilah budaya populer, tapi budaya global. karena, dominasi suatu bentuk “budaya tertentu” telah memenuhi ruang publik lintas benua. dengan kata lain, “budaya2 tertentu” tersebut sama bentuknya antara belahan dunia eropa dengan hawai, misalnya.

    jelas, pelabelan populer muncul karena usaha hegemoni “pasar”. dari situlah muncul pelabelan komersil, karena memang ada proses transaksi di dalamnya yang bisa dikuantitaskan dengan uang. pemahaman seperti ini seperti mencoba untk melihat masalah budaya dari berbagai sisi, ada sisi populer, komersil, global, mandiri, hantu belau, dsb. pelabelan seperti ini sah2 saja dalam usaha utk memahami budaya secara utuh atau parsial. bahkan kebudayaan wayang golek, ketoprak, dsb, tetap aja punya sisi komersil. kalo tidak, dari mana mereka makan? makan budaya? hehe…..

    kesimpulannya, terserah kita untuk memandang dari perspektif manapun, asalkan setiap perspektif td berangkat dari fenomena empiris yang tdk bs dibantah (komersil, populer, maupun global).
    komersil atau tidak, populer atau tidak, global atau tidak, tetap merupakan satu kesatuan yang utuh, sebuah budaya, hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia.

    kemudian, yang terpenting dari perspektif ini ialah, aksiologinya. bagaimana kegunaannya untuk kemanusiaan, baik atau buruk. inilah inti dari persoalan budaya, kemanusiaan. karena itu, tidak bisa kita pisahkan budaya dari ontologinya, epistemologinya, maupun aksiologinya. semua dalam satu kesatuan.

    Salam utk yg di Medan.

  16. i only don’t understand

  17. semua negara mengalami perubahan budaya. kita wajib melestarikan budaya tapi dengan semua konsekuensi yang juga harus siap ditanggung.

  18. ganti topik dong

  19. aaaa

  20. hehehe

  21. Masih semangat membela tanah air ini?
    masih semangat mempertahankan kemerdekaan NKRI?
    Masih semangat mempertahankan Pancasila sebagai falsafah negara NKRI?
    Masih semangat melanjutkan revolusi Indonesia?
    baik…baik…terima kasih…terima kasih…terima kasih karena bangga menjadi bangsa Indonesia.

  22. ngomong naon sih?? teu jelas

  23. ngobrol lagi. !!

  24. Begitu indah dan kaya Indonesia ini, mari bersama kita lestarikan budaya kita,, salam kenal dari Pernikahan Adat Di Indonesia

  25. hm…………

  26. budaya mencipta itu apa?

  27. karena orang indonesia itu kalah argumen dengan orang luar……
    itulah masalahnya orang indonesia kurang peduli dengan kebudayaan kita.
    cenderung egk PD n kalah mental……..
    jika di tanya: nama tresno ma charles bagusan mana? past d jwb charles. pdhal tresno bukan nama yg buruk..

  28. sbener’a skrng yg plng pnting bwt di bhas tu…
    ttp tenteng budaya kita sndri……..

  29. Saya meminta izin untuk menjadikan tulisan ini sebagai bahan referensi untuk makalah saya. Terima kasih.

  30. teriamaksih buat postingannya..sangat mebantu


Leave a reply to nenden Cancel reply

Categories